An Spiritual Night With MONO

Posted by ditulis oleh ollay On 1:49:00 AM

"Without music, life is a journey through a desert."
- Pat Conroy -



Ibarat setelah melewati bertahun-tahun dahaga akan perjalanan musik hidup berkualitas, akhirnya penantian tersebut terbayar lunas Selasa malam lalu. Jangan bicarakan Linkin Park yang hanya bisa membuat takjub saya ketika nada-nada masih terbelenggu pita, atau musisi Asia Timur karbitan yang hanya bisa dinikmati oleh mata. Saya membicarakan sebuah band yang tak hanya mampu membuat mata terpesona karena penampilan epik-nya tapi juga sanggup membuat telinga orgasme dengan musiknya, tanpa perlu ikut melantunkan kata-kata. Ya, apalagi kalau bukan musik nirlirik. 
Selasa lalu (11-10-11), salah satu dedengkot musik nirlirik dari Jepang, MONO, akhirnya kembali menyambangi Indonesia setelah pada 2008 lalu mereka juga menjadi salah satu headliner dalam one-hit-failed festival, Jakarta Rock Parade. Bedanya, kali ini mereka bermain dalam sebuah konser tunggal bertajuk "An Exclusive Night MONO". Sebuah konser yang sangat tak terduga. Mengingat genre yang mereka sajikan, Post Rock, bukan merupakan genre yang banyak dikonsumsi khalayak kebanyakan. Ya, Mono sendiri adalah salah satu tonggak berdirinya genre yang baru muncul pada tahun 90an ini. Disamping itu, Jakarta Rock Parade tadi merupakan salah satu konser tergagal di Indonesia, dan Mono tak dibayar  sepeser pun meski  tetap manggung dan (katanya) bermain luar biasa. Bahkan, butuh waktu hingga 3 tahun (dan tiga kali pula Indonesia dilewatkan dalam tour Asia Tenggara mereka!) untuk meyakinkan mereka bahwa masih banyak promotor profesional yang mampu menangani konsernya.

Singkat cerita, sampailah kami di Nusa Indah Theatre. Saat itu tempat tersebut menjadi Mekkah-nya para pecinta post rock. Kumpulan manusia bisa dibilang cukup banyak untuk sebuah konser tunggal perdana dari band Post Rock manca negara. Sebuah gathering dari postrockerz seluruh penjuru Indonesia akhirnya terlaksana, terimakasih sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Kaskus yang membuat kami seolah saudara. Setelah beberapa "perkenalan nyata" dengan teman-teman maya, meringseklah kami ke antrian masuk gate. Saya sempat melihat batang hidung @aparatmati. Untuk kau yang belum tau, @aparatmati bukan segumpalan mayat pria berbadan tegap dengan rambut kentang yang sok berkuasa (walaupun saya berharap demikian), dia Arian 13. Masih belum tau? Pergilah banting televisimu sesegera mungkin!

Di luar, hujan seolah mengawali suasana galau pada malam yang dipastikan akan menjadi temaram ini. Gate dibuka pukul 19.10. Molor sepuluh menit dari jadwal acara, tapi tak apalah, untuk ukuran Indonesia saya masih bisa menyebutnya tepat waktu. Teman-teman langsung menyerbu garda terdepan. Saya memilih berada di shaf ketiga dari depan dan berusaha sedapat mungkin untuk mendapat spot paling tengah. Sedikit serong di sebelah kanan masih bisa dimaklumi, toh nanti posisi Taka tepat berada lurus di depan saya, jika sesuai perhitungan.


Panggung masih tertutup tirai hitam. Kami disajikan suara-suara dari Matt Bellamy, Thom Yorke hingga Jonsi sebagai pembuka konser. Tapi tak ada bentuk nyata di depan kami, hanya suara yang berasal dari format digital saja yang muncul dari speaker. Tak apalah, sedikit membantu mengurangi deg-degan kami  ketika menanti munculnya personil Mono. Saya mencoba memekakan indra pendengaran dengan susah payah, mendadak ekspektasi saya menurun drastis. Konon, venue ini  sering digunakan untuk acara-acara Akustik. Dari playlist penenang yang diputar panitia, sound yang muncul dari speaker nampaknya tak mampu menjangkau nada tinggi, sehingga terkesan pecah. Boleh percaya boleh tidak, saya langsung berdoa dalam hati supaya tak ada kendala teknis yang muncul di tengah konser, apalagi kendala soundsystem.
Pukul 20.15 tirai dibuka dengan perlahan, sontak penonton bertepuk tangan berbarengan. Backsound musik orkestra klasik mulai muncul. Tapi panggung hanya berisi peralatan musik tanpa disertai pencabiknya. Tak ada mic disitu. Tak perlu mic disitu. Hanya dua atau tiga lampu sorot dari atas yang memberi pencahayaan. Suasana magis yang dimunculkan oleh tampilan panggung kosong, orkestra klasik dan suara vokal seriosa seorang wanita, membuat bulu kuduk berdiri beberapa saat. Di beberapa menit awal penonton masih takjub, mencoba menunggu kemunculan personil yang entah akan darimana. Sayangnya, pengantar ini memakan waktu yang cukup lama. Jatuhlah lagi kami kedalam neraka kegelisahan bernama penantian.
Hampir 30 menit kemudian baru Takaakira Goto, Tamaki Kunishi, Yoda dan Yasunori Takada muncul dengan kostum serba hitam seperti biasanya. Hanya sejenak lambaian tangan ke penonton dan mereka langsung menyatroni alatnya masing-masing. Bedanya, Tamaki masih mengacuhkan bassnya dan mengawali lagu dengan dentingan berulang dari glockenspiel. Ashes In The Snow membuka konser dengan tempo yang ritmis menanjak. Menjelang klimaks, masing-masing personil seolah kerasukan. Inilah nilai lebih sebuah konser musik postrock. Setlist masih berada di titik awal tapi mereka sudah membuatnya seolah encore. Masih di lagu pertama dan saya sudah tercengang serta bulu kuduk ikut berontak. Epik! Mereka seolah berkata, butuh berapa encore? Satu? Dua? Kami punya banyak!
Ashes In The Snow


Benar juga, sound terasa pecah ketika menjangkau nada tinggi, beruntung mereka mampu memaksimalkan keterbatasan tersebut dengan skillnya yang sangat memadai.
Selanjutnya mereka membuat semua penonton mengikuti peta perjalanan spiritual malam itu dengan Follow The Map. Walaupun tak se-epik lagu pertama, tepuk tangan penonton tetap membahana. Seolah acuh, Burial At The Sea langsung mengantar penonton mengarungi samudera malam nan temaram. Kaki saya bergerak mengetuk-ngetuk lantai dengan sendirinya, kepala pun berhead-banging perlahan mengikuti tempo lagu. Sempat melirik ke beberapa penonton di depan, mereka ternyata juga melakukan hal serupa. Yah, beginilah menikmati musik postrock, berhead-banging perlahan ke agak-cepat, tanpa perlu beradu tubuh, tanpa perlu membuang serak, cukup nikmati tanjakan dengan perlahan. Indahnya menyelam ke titik terdalam pada Burial At The Sea seolah menjadi encore yang kedua. 
Setlist keempat adalah Pure As Snow, masih dari album terakhir mereka Hymn To The Immortal Wind. Lagi-lagi lagu berdurasi lebih dari 10 menit. Jika kau mengira penonton bakal terkantuk bosan, nampaknya statusmu sebagai postrockerz perlu diragukan. Suara yang muncul dari gitar Goto dan Yoda benar-benar membuat nuansa seakan berada di gunung salju. Sedikit menjelang puncak, badai salju benar-benar dimunculkan dengan ganas oleh Goto. Mulai dari menggesek-gesekkan gitar, menjilat senar dan mengotak-atik pedalboard yang entah bagaimana, hingga mampu menghasilkan suara noise yang benar-benar parah tapi megah. Di lagu (yang seolah) encore ketiga ini, sesuai dengan judul lengkap lagunya Pure As Snow (Trails of the Winter Storm), mereka meninggalkan jejak musim dingin yang membuat telinga tetap berdenging hingga beberapa menit setelahnya.

Pure As Snow


Track kelima, "Sabbath", merupakan satu-satunya lagu yang membuat Goto, Tamaki dan Yoda bermain bersama dengan posisi berdiri. Berlanjut dengan "Halo" sebagai track keenam. Intro lagu ketujuh langsung membuat penonton memberi sambutan tepuk tangan, "Moonlight" yang saya yakin dinanti oleh seluruh penonton di Nusa Indah Theater akhirnya meluncur perlahan. Petikan gitar dan permainan teksture muncul secara bergantian dari Goto dan Yoda, memunculkan nuansa mistis tersendiri, seakan kau ditendang keluar dari venue dan terdampar sendirian di kelamnya malam. Ketika sedang merenungi betapa buruknya nasibmu, cahaya bulan yang terang seakan menyedotmu naik keatas, tempo musik yang menanjak membantumu naik dengan perlahan. Terus didorong keatas hingga kau lupa mempunyai suatu realita bernama dunia. Berputar-putar mengelilingi bulan, kau menjadi orang terbebas di angkasa. Mendadak tenagamu habis, tempo gitar turun dengan perlahan, begitupun tubuhmu, berusaha menyesuaikan diri dengan gravitasi. Semakin kebawah, cahaya yang menyinari semakin surut. Semakin dekat ke tanah, cahaya semakin menghilang, begitupun tempo musiknya. Dan kembalilah kau ke dunia nyata, sebuah encore yang entah keberapa. Percayalah, bulu kuduk saya sampai lelah berdiri.
 
Sabbath

Moonlight


Di awal setlit kedelapan, Tamaki dan Takada menyingkir dari bass dan drumnya. Tamaki memainkan keyboard dengan perlahan namun cantik. Sementara di sebelahnya, Takada memegang synthesizer bermerk KORG. Paduan keduanya menghasilkan nuansa ambient tengah malam. Everlasting Light meluncur dengan manis. Di tengah lagu, keduanya menyingkir ke tempatnya masing-masing. Permainan tekstur gitar dari Goto dan Yoda mengambil alih, kembali membawa penonton menanjak gunung dini hari buta dengan hanya berbekal cahaya bulan. Menjelang klimaks, Goto kembali kesurupan dengan gitar dan pedalboardnya. Disini dia benar-benar menahbiskan dirinya sebagai frontmant Mono dan penuntun penonton dalam petualangan dakian dini harinya. Dan sebuah klimaks yang sangat megah sukses mengantarkan penonton ke puncak gunung untuk menemukan cahaya abadinya masing-masing.

Everlasting Light #1

Everlasting Light #2



Benar dugaan saya, Everlasting Light menjadi penutup konser kali ini. Kurang lebih 75 menit mereka memanjakan audio dan visual kami. Akhirnya, mereka maju ke depan dan membungkukkan badan ke penonton sebagai salam perpisahan dan ucapan terimakasih. Ketika mereka berjalan ke belakang panggung, saya sempat melihat Goto dan Takada melakukan high-five-toast, ekspresi kepuasan akan penampilan mereka barusan. Teriakan "We Want More" dari seluruh penonton tak digubris. Mereka memang hampir tak pernah melakukan encore, sama seperti Explosions In The Sky. Tapi bagi saya, setiap lagu yang mereka tampilkan adalah encore dalam porsinya masing-masing.

Goto's Pedalboard


Poster, Guitar Pick, Setlist



Beberapa penonton masih berkumpul di depan panggung hingga setengah jam setelah acara, sebuah kebetulan lagi, seorang teman mendapat setlist lagu milik Goto. Tampangnya girang setengah mati, seolah mendapat mukjizat dari sang nabi. Di depan tiket box, kembali kami berkumpul. Berlanjutlah kopi darat postrockerz Indonesia dengan hangat. Di dekat kami, nampak Arian13, Acum Bangku Taman dan Cholil ERK juga masih memperbincangkan konser tanpa kata nan sarat makna tadi. Bahkan, ada seorang teman yang mengaku melihat Adrie Subono datang. Banyak orang masih mengherankan tentang tiadanya encore. Untuk saya, sebuah aspek magis dari menonton musik hidup bukan dari ada atau tiadanya encore, tapi seberapa mampu gelombang nada mereka menggidikkan bulu kuduk. Dan nampaknya telinga saya sudah berhasil mendapat eargasme berkali-kali serta bulu kuduk saya sudah tak mampu berdiri lagi malam itu. Setidaknya saya sudah menunaikan ibadah haji post-rock.

Postrockerz


After Party
Sedikit tambahan, kami akhirnya menyambangi personil Mono di loby hotel mereka. Menyerahkan sedikit souvenir berupa kaos Postrockerz Kaskus. Goto yang menerima terlihat antusias dan sangat senang ketika mengetahui bahwa lagu mereka yang berjudul “A Thousand Paper Cranes” menjadi salah satu kutipan di kaos yang merupakan official T-shirt postrockerz kaskus. Dibalik kegarangannya diatas panggung, para personil Mono ternyata adalah pribadi-pribadi yang hangat dan menyenangkan. Mereka menjanjikan akan kembali kemari dengan beberapa kejutan di tahun depan. Jika Arian13 mengatakan bahwa kalau ada kesempatan keempat untuk menonton Mono lagi, dia akan mengejarnya, maka kami juga akan melakukan hal serupa untuk kesempatan kedua, ketiga, bahkan kesepuluh. Tapi setidaknya, sekarang ibadah haji postrock saya sudah mabrur. 
 
Postrockerz ft MONO

1 Comment

  1. Anonymous Said,

    mantaap

    Posted on December 23, 2011 at 6:20:00 PM GMT+7

     

Post a Comment